Teori dasar oedipus/elektra kompleks
Sigmund Freud dilahirkan dari keturunan Yahudi di Freiburg, Moravia, Austria-Hungaria (sekarang Republik Ceko), yang pertama dari tujuh bersaudara. Sigmund Freud adalah Psykiatris Austria dan pendiri psikoanalisis, teori psikologi paling berpengaruh di abad ke-20.
Menurut Sigmund Freud, kepribadian sebagian besar dibentuk pada usia lima tahun pertama seorang anak. Pengalaman awal memainkan peran besar dalam pembangunan kepribadian dan terus mempengaruhi perilaku di kemudian hari.
Freud percaya bahwa kepribadian berkembang melalui serangkaian tahapan masa kanak-kanak selama energi yang mencari-kenikmatan dari id menjadi fokus pada daerah sensitif tertentu. Energi psikoseksual ini, atau libido, digambarkan sebagai kekuatan pendorong di balik perilaku manusia.
Selama tahap phalik, fokus utama dari libido adalah pada alat kelamin. Anak-anak juga menemukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada tahap ini. Freud juga percaya bahwa anak laki-laki mulai melihat ayah mereka sebagai saingan untuk kasih sayang ibu. Oedipus Kompleks adalah istilah untuk menggambarkan perasaan ini, yaitu ingin memiliki ibu dan keinginan untuk menggantikan ayah. Namun, anak juga memiliki kekhawatiran bahwa ia akan dihukum oleh ayah oleh karena perasaan ini, rasa takut ini oleh Freud disebut kecemasan pengebirian.
Istilah Electra kompleks digunakan untuk menggambarkan satu keadaan perasaan yang sama yang dialami oleh anak perempuan.
Akhirnya, anak mulai mengidentifikasi dirinya dengan orang tua yang sejenis kelamin, untuk memiliki bagi dirinya sendiri orang tua yang tidak sejenis kelamin dengannya.
Teori yang diterapkan ke dalam Alkitab
Freud memberikan dua contoh dari peristiwa Alkitab, untuk menerapkan teorinya: yaitu Musa dan Yesus. Tentang Musa, Freud mengklaim bahwa dia bukan orang Yahudi tetapi orang Mesir, berteman dengan suku Yahudi, membawanya keluar dari Mesir dan mengubahnya menjadi agama monoteistik, dari agama Firaun Ikhnaton, agama Aton dari dewa tunggal, dewa matahari.
Pada masa purba, laki-laki yang kuat adalah tuan dan ayah atas seluruh gerombolan / suku, kekuasaannya tanpa batas, yang digunakan dg brutal. Semua perempuan adalah miliknya, yaitu para istri dan anak-anak perempuan di sukunya sendiri serta mungkin juga yang dicuri dari suku lain. Nasib anak laki-laki sangat malang, jika mereka membangkitkan kecemburuan ayah mereka, mereka dibunuh atau dikebiri atau diusir. Mereka dipaksa untuk hidup di komunitas kecil dan mencari istri bagi diri mereka dengan mencuri dari orang lain. Salah satu atau putra lainnya mungkin berhasil dalam mencapai situasi yang sama dengan ayah dalam komunitas yg terdahulu. Satu posisi yang disukai muncul dengan cara alami: yaitu bahwa si anak bungsu, yang dilindungi oleh ibu yang mencintanya, bisa diuntungkan oleh berjalannya tahun hingga masa tua ayahnya dan menggantikannya setelah kematian ayah. Gema dari pengusiran putra tertua, dan juga posisi favorit yang termuda, tampaknya tetap hidup dalam banyak mitos dan dongeng. Langkah selanjutnya menentukan arah perubahan jenis pertama organisasi " sosial " ini, terletak pada kemungkinan berikut: saudara-saudara yang telah diusir dan hidup bersama dalam suatu komunitas mengroyok ayah mereka, mengalahkan ayah, dan - menurut kebiasaan orang-orang saat itu - semua anak memakan tubuh ayahnya. [1]
Penjelasan-penjelasan yang ia berikan mengenai teori Musa dan Yesus bersifat sejarah sekaligus filologis, dan bersifat psikologis sekaligus folkloristic.
Yang pertama adalah kata "Musa" atau “Moses” adalah elemen dari banyak nama Mesir, seperti, misalnya, Ramses (Ra-Mose), Mose dalam bahasa Mesir berarti anak. Oleh karena itu, Musa adalah seorang Mesir.
Kemudian, pejabaran bersifat psikologis sekaligus folkloristic yg menyatakan Musa adalah orang Mesir sebagai berikut: Dalam banyak legenda tentang asal-usul dan orang yang terkenal dari masa lalu, pahlawan senantiasa berdarah bangsawan. Sebagai anak dia dianggap sebagai ancaman bagi sang ayah. Kemudian sang anak terpaksa melarikan diri, dan diselamatkan dan dibesarkan oleh orang-orang miskin atau rakyat jelata.
Menurut legenda Yahudi, Musa lahir dari antara rakyat ras yg tertindas, dan diselamatkan dan dibesarkan oleh putri raja. Freud mengatakan bahwa legenda itu dipalsukan dan harus diperbaiki. Legenda yang benar menurut Freud adalah bahwa Musa adalah keturunan bangsawan, bahkan mungkin anak dari Putri bangsawan Mesir. Kemudian terpaksa lari karena dianggap ancaman bagi kekuasaan ayahnya. Konflik bapak-anak ini lah yang disebut Oedipus Complex, suatu gejala neurotik. Musa ini kemudian tinggal bersama rakyat yang tertindas dan menjadi pahlawan bagi mereka.
Teori agama Yahudi menurut Freud
Mengenai teori agama Musa, Freud memiliki teori sebagai berikut: bukan Musa yang berbicara tentang Allah kepada Firaun, tetapi Firaun yang mengajarkan Musa tentang Aton, allah monotestik.
Musa tidak pandai bicara, hal ini harus dipahami bahwa ia harus berbicara melalui penerjemah, bukan dengan Firaun, tetapi dengan bangsa Ibrani.
Di tengah pengembaraan bangsa Yahudi di padang gurun, mereka membunuh Musa dari Mesir ini. Selanjutnya, suku Yahudi ini bertemu dan bergabung dengan yang lain, dan sebagai bagian dari kompromi antar mereka, mereka mengadaptasi ibadah dari gunung berapi dewa Jahve, dipengaruhi oleh orang Midian Arab. Dalam upaya untuk melepaskan diri dari rasa bersalah karena telah membunuh Musa, suku ini mengangkat Musa baru – seorang Yahudi- sebagai bapak agama baru monoteis ini. Dengan cara itu, mereka hampir memenuhi teori agama pemujaan sang ayah, yang dibuat Freud sebagai dasar teorinya tentang asal-usul agama. Bagi Freud, pembunuhan ayah purba adalah 'dosa asal'.
Penyesalan karena telah membunuh Musa Mesir telah menciptakan kerinduan terhadap Mesias penebus ‘dosa asal’ di kalangan bangsa Yahudi.
Perbandingan Musa-Yesus menurut Freud
Freud kemudian membandingkan kisah Musa dengan Yesus, yang juga dikorbankan - tetapi dengan sukarela, sebagai korban simbolis penebusan kesalahan karena pembunuhan ayah purba (Musa Mesir).
Yesus, menyatakan dirinya anak tuhan, yaitu bahu yang memikul tanggung jawab atas kematian ayah purba bangsa Yahudi dan menderita hukuman yang setara untuk itu. Jadi anak-anak lain, seluruh umat manusia, dalam pikiran mereka bisa merasa diampuni oleh bapanya.
Hal ini disebut konsep katarsis Yunani, yakni pembersihan menghasilkan pengampunan. Karena tuduhan perasaan bersalah yang tumbuh telah mencengkeram orang-orang Yahudi - dan mungkin seluruh peradaban pada waktu itu - sebagai awal dari kembalinya kenangan memori yang ditekan.
Freud menemukan perbedaan yang signifikan dalam nasib Musa dan Yesus - yang pertama sebagai figur ayah, yang terakhir sebagai seorang anak. Oleh karena itu, ia melihat agama Musa sebagai dasarnya berfokus pada ayah, sedangkan Kekristenan berfokus pada anak.
Menilai teori Freud
Hubungan antara suami-isteri, orang tua-anak yang digambarkan Freud sebagai suatu gejala neurotik bisa dipahami sebagai fenomena empirik pada manusia, tetapi menurut saya tidak mewakili psikologi yang sebenarnya. Karena Freud tidak melihat hakekat manusia secara utuh.
Dari sisi teologi, dalam kaitan moralitas seksual sosial maupun individual, manusia terdiri dari daging dan roh. Oleh karena itu analisa psikoseksual manusia tanpa melihat dari sisi kebutuhan kehidupan rohnya tidak mampu untuk merumuskan Psikologi yang sebenarnya.
Karena sebagai makhluk daging, manusia tunduk kepada kuasa dosa. Jadi perilaku yang muncul kepermukaan adalah perilaku dosa. Jika perilaku daging ini dipakai sebagai dasar perumusan teori psikoseksual maka akan diperoleh setengah sisi dari manusia, sementara itu perilaku manusia roh belum dirumuskan.
Sebagaimana kasih dan seks tidak identik, begitu juga kasih dan nafsu berbeda. Nafsu birahi bersifat eksploitatif, mementingkan diri sendiri, dan memuaskan diri sendiri. Nafsu birahi menjatuhkan manusia dalam percabulan, tidak bertanggungjawab, dan kriminal seks. Semuanya ini bertentangan dengan kasih.[4]
Manusia pada hakekatnya memiliki kehidupan roh yang membutuhkan kasih. Kebutuhan akan kasih inilah yang menggerakan seluruh perilaku manusia. Perbaikan hubungan bapak-anak secara teologis bisa diupayakan ketika masing-masing melepaskan diri dari kuasa dosa dengan pertobatan untuk menerima kasih Allah bagi dirinya. Karena pertobatanlah yang akan membuat hati bapa dan hati anak bersatu lagi. Didalam kekristenan, pertobatan ini dikerjakan oleh Allah melalui sakramen baptisan Yohanes.
Dengan kata lain, pertobatan dalam baptisan Yohanes adalah sebagai jawaban persoalan yang disebut Freud sebagai Oedipus Complex.
Kemudian setelah seseorang mengalami pertobatan selanjutnya ia mengalami kehidupan yang dipimpin oleh Roh untuk menghasilkan perilaku baru yang disebut 9 buah roh. Kehidupan semacam ini dapat terjadi dikarenakan manusia memperoleh kasih secara melimpah melalui karya Allah, Anak, dan Roh dalam kehidupannya yang selanjutnya ia mengalirkan kasih ini kepada anak-anaknya, keluarga dan masyarakat.
Aplikasi dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai berikut:
Sebelum mengenal Allah, seorang anak mencari kasih dari orang tua. Namun pada masa lampau maupun masa sekarang, seorang ayah terlalu sibuk untuk memberikan perhatian (kasih) sebesar yang ibu berikan kepada anak. Disamping itu juga kebersamaan ibu-anak lebih banyak dari pada kebersamaan ayah-anak. Maka terciptalah ketergantungan anak terhadap ibu, paling tidak dalam kebutuhan akan cinta kasih. Itulah sebabnya mengapa terjadi kecemburuan atau ketakutan anak kehilangan kasih ibu ketika diketahuinya sang ayah memiliki hubungan kasih dengan sang ibu (Oedipus Complex atau Electra Complex).
Seorang ayah yang mencurahkan kasih bersama ibu kepada anak-anaknya sejak masa kecil sang anak akan menghilangkan gejala kejiwaan ini. Karena anak tidak takut lagi kehilangan kasih ibu sebab dalam kebutuhan kehidupan rohnya akan kasih sudah terpenuhi, baik dari ayah maupun ibu. Kemudian orang tua memiliki kewajiban mengarahkan kebutuhan anak akan kasih kepada Allah, karena Allah adalah Kasih. Jadi kebutuhan manusia akan kasih adalah kebutuhan manusia akan Allah.
Jadi ketika Freud mencoba memahami Allah –yang adalah Kasih-, ia memakai dasar pemikiran yang berasal dari tabiat dosa, yaitu sexual desire bukan kasih. Jika suara dari manusia yang takluk dalam tabiat dosa didengarkan sebagai objek sekaligus subyek pemikiran akan Allah maka akan menghasilkan kekeliruan pemahaman terhadap diri Allah, Anak dan Roh sekaligus manusia itu sendiri. Bahkan untuk pribadi ke tiga dalam trinitas ini nampaknya tidak terpikirkan sama sekali oleh Freud. Jika dasar teorinya saja tidak tepat maka bangunan teori diatasnya juga ikut keliru. Tidak mengherankan jika pada kesimpulannya Freud tidak percaya kepada Allah (Ateis). Bagi Freud, Allah hanyalah proyeksi apa yang baik dari alam manusia dan agama adalah “sebanding dengan neurosis masa kanak-kanak "
Referensi
- www.kirjasto.sci.fi/freud.html, [On Line Page] Sigmund Freud (1856-1939), Petri Liukkonen dan Ari Pesonen.
- www.about.com, [On Line Page] Freud’s Stages of Psychosexual Development, Cherry Kendra.
- www.insomnium.co.uk, [On Line Page] Introduction to Sigmund Freud's Theory on Dreams, Kevin Wilson.
- www.stenudd.com, [On Line Page] Psychoanalysis of Myth, Stefan Stenudd
- www.theotokos.org.uk, [On Line Page] Christanity according to Sigmund Freud, Dr. Thevathasan Pravin
- www.varchive.com, [On Line Page] Sigmund Freud and Moses the Lawgiver, __
- www.victorianweb.org, [On Line Page] Freud’s Stages of Psychosexual Development, David B. Stevenson
Kej 6:3-5 Berfirmanlah TUHAN: "Roh-Ku tidak akan selama-lamanya tinggal di dalam manusia, karena manusia itu adalah daging,…bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata
Mal 4:6 Maka ia akan membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati anak-anak kepada bapa-bapanya supaya jangan Aku datang memukul bumi sehingga musnah.