Tidak terasa usia pernikahan kami sudah
menginjak tahun yang ke 3. Banyak hal kami lalui, baik suka maupun duka.
Hal itu membuat saya merenung ke belakang apa
yang sudah saya kerjakan untuk dia, apakah saya sudah memberi kebahagiaan selama
3 tahun ini, atau justru sebaliknya ( wah parah nih..).
Bingung juga saya menjawab, karena kalau
menurut saya sih saya sudah melakukan semua yang terbaik... ( sekali lagi menurut saya
lho..)
Tapi bagaimana menurut dia? Jangan-jangan
malah sebaliknya... :)
Sore sehabis makan, iseng-iseng saya tanya hal
itu kepadanya apa selama tiga tahun kamu bahagia nggak sama saya? Dan
jawabannya aku bahagia kok mas... ( moga aja dia ngga bohong...hehehe...tapi lega
juga mendengar jawabannya)
Sayangnya dia tidak mengajukan pertanyaan yang
sama kepada saya :( ... barangkali dia ngga
pede atau takut jawaban saya bakal bikin dia syok ... hehehe
Itulah realitas kehidupan pernikahan, ada
kewajiban bagi kita untuk membahagiakan pasangan, untuk mengasihinya baik suka
maupun duka, baik saat sehat maupun saat ia terkapar dan merepotkan karena sakit,
baik saat kaya maupun saat ia mengecewakan karena jatuh miskin, baik ketika ia
menyenangkan hati kita atau pun pada saat ia sangat menyebalkan, intinya adalah
mengasihi dia apa adanya. (saya menulis dengan kata mengasihi bukan mencintai,
atau barangkali lebih tepat seharusnya saya menulis dengan kata-kata mengasihi atau mencintai dengan kasih
Kristus)
Sebab kalau kita mengasihi pasangan hanya
bermodal dengan cinta pandangan pertama yang menggetarkan kalbu (walah-walah..),
kita bakalan kecewa pada pandangan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya karena
pada pandangan kedua ketiga dan seterusnya kita baru akan melihat sifat asli
doi dan sudah pasti pernikahan yang didasari cinta pandangan pertama tidak
mampu bertahan. Karena tidak ada satu pun manusia yang ideal sempurna, baik
sebagai teman, saudara, orangtua, pemimpin gereja, apalagi sebagai pasangan hidup.
Tetapi persoalan yang ingin saya share bukan masalah pernikahan dua
manusia, (yang berbeda jenis kelamin tentu saja), karena pernikahan manusia,
yang walaupun kompleks, hanya gambaran dari pernikahan yang sesungguhnya, pernikahan
yang benilai kekal, yaitu pernikahan kita dengan Kristus. (Eph 5 : 25 - 33)
Kristus sebagai suami telah membuktikan kepada
saya dengan mengasihi saya apa adanya, baik ketika saya masih dalam keadaan
berdosa maupun sekarang setelah saya diampuni dosanya oleh Dia, baik ketika
saya bersikap menyenangkan hatiNya maupun ketika saya bersikap menyebalkan
hatiNya. Dia tetap ada untuk saya, kasihNya tidak menjadi luntur atau pudar
hanya karena saya jatuh dalam dosa, bahkan ketika saya berpaling dari Dia dan
lari kepada ilah lain, Dia pun tetap ada untuk mencintai saya. Dia senantiasa
berseru supaya saya kembali kepadaNya.
Ah, bahagianya saya dicintai sedemikian
rupa.... Sungguh saya merasa mudah untuk balik mencintaiNya.
Tetapi ternyata tidak semudah yang
dibayangkan untuk mencintai balik. Bagaimana jika Kristus yang mengecewakan saya? Apakah saya masih
mampu mencintaiNya. Persoalan rumah tangga, jodoh, ekonomi, pelayanan
sepertinya tidak pernah berhenti menerpa kehidupan saya. Walaupun sudah berdoa
dengan nangis-nangis sekalipun, puasa, dlsb tetapi keadaan tetap tidak berubah malah
seakan-akan semakin berat saja. Walaupun sudah melakukan (setiap) firmanNya, setia
melakukan persembahan tetapi tetap saja tidak ada jalan keluar.
Dalam hal ini jelas Dia sekarang menjadi
pribadi yang menyebalkan bagi saya, karena nyata-nyata Dia tidak mau memakai
kuasaNya untuk menghardik persoalan dalam hidup saya yang katanya dicintaiNya
dan menggantinya dengan damai sejahtera, kesehatan, berkat melimpah-melimpah
dan umur panjang ( pokoknya paket komplit dari sorga deh...hehehe).
Dalam keadaan yang tertekan saya teringat akan
The Wedding Vow dalam Ulangan 6:5 "Kasihilah TUHAN Allah mu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu", ketika saya membuat
komitmen untuk mengikuti Dia, janji untuk mengasihiNya baik saat sehat maupun
sakit, saat kaya maupun miskin, saat menyenangkan atau menyebalkan.
Sekarang saya sadar bahwa pada saat kesukaran
dan persoalan melanda, inilah momen yang tepat untuk membuktikan kepadaNya bahwa
saya mengasihiNya lebih dari segala persoalan rumah tangga, jodoh, persoalan
pelayanan, segala materi kebutuhan hidup dan penyakit yang sepertinya tidak kunjung sembuh.
Inilah saat yang tepat untuk tetap mencintaiNya baik saat Dia baik
pada saya maupun pada saat di mana sepertinya Dia tidak perduli dengan saya.
Karena itulah hakekat hubungan saya dengan Dia, bukan berdasarkan ritual agamawi, atau berdasarkan segala perhitungan keuntungan-keuntungan yang saya peroleh dari Dia semata namun atas dasar saling mengasihi dengan segala kelebihan dan 'kekurangan' Nya.
Tuhan,
aku ingin belajar mengasihi Engkau apa adaNya diri-Mu seperti halnya Engkau mengasihi aku apa adanya diriku...
sumber gambar: taraummomar.wordpress.com