Tidak terasa bacaan saya hari ini sampai pada pasal 6 dari Kitab Kejadian. Setelah kemarin kita meng-obrol tentang pasal 1-5, sekarang kita akan meng-obrol pasl 6
Kejadian 6:1-13
1 Ketika manusia itu mulai bertambah banyak jumlahnya di muka bumi, dan bagi mereka lahir anak-anak perempuan, 2 maka anak-anak Allah melihat, bahwa anak-anak perempuan manusia itu cantik-cantik, lalu mereka mengambil isteri dari antara perempuan-perempuan itu, siapa saja yang disukai mereka.
Dalam dua ayat tersebut ada dua pihak yang disebut oleh penulis Kitab Kejadian yaitu kelompok “manusia” dan kelompok “anak-anak Allah”.
Kelompok yang disebut “manusia” ini memiliki anak-anak perempuan yang cantik-cantik, sehingga kelompok yang disebut “anak-anak Allah” mengambil sebagai isteri sesuka hati mereka siapa saja dari anak perempuan kelompok yang disebut “manusia”.
Ternyata kriteria memiliki isteri dalam berkeluarga bagi kelompok “anak-anak Allah” ini adalah hanya SIAPA SAJA YANG DISUKAI. Tidak dijelaskan dalam Kitab ini mengenai persoalan pokok dalam membina sebuah lembaga pernikahan tentang: 1) Siapa calon isteri, 2) Berapa banyak jumlah isteri yang bisa diambil, dan 3) Berapa lama seorang perempuan harus dijadikan isteri. Mengingat satu-satunya standar yang dipakai untuk menjadikan isteri adalah SIAPA SAJA YANG DISUKAI, maka persoalan “Siapa calon isteri” jelas bisa siapa saja; bisa janda, bisa gadis, bisa sangat muda, sangat tua, bisa isteri orang sekalipun, yang penting SIAPA SAJA YANG DISUKAI. Kedua persoalan “Berapa” juga tidak dijelaskan rinci di Kitab ini; bisa satu, bisa dua, bisa tiga, bisa empat, yang penting SIAPA SAJA YANG DISUKAI. Kemudian juga untuk persoalan berapa lama perempuan-perempuan tersebut dijadikan isteri oleh “anak-anak Allah” juga tidak dijelaskan; bisa sehari, seminggu, setahun, bisa seumur hidup, yang penting “anak-anak Allah” MASIH SUKA dan BELUM ADA PEREMPUAN CANTIK LAIN YANG DISUKAI.
Kemudian respon TUHAN mengenai kondisi pada ayat 3 ini adalah:
3 Berfirmanlah TUHAN: "Roh-Ku tidak akan selama-lamanya tinggal di dalam manusia, karena manusia itu adalah daging, tetapi umurnya akan seratus dua puluh tahun saja."
Tentu saja kita setuju dengan TUHAN bahwa perilaku yang ditunjukan “anak-anak Allah” di atas jelas perilaku kedagingan. Nyata bahwa natur “anak-anak Allah” ini adalah daging.
4 Pada waktu itu orang-orang raksasa ada di bumi, dan juga pada waktu sesudahnya, ketika anak-anak Allah menghampiri anak-anak perempuan manusia, dan perempuan-perempuan itu melahirkan anak bagi mereka; inilah orang-orang yang gagah perkasa di zaman purbakala, orang-orang yang kenamaan.
Generasi yang dilahirkan selanjutnya adalah generasi yang superior secara fisik, memiliki kekuatan otot melebihi orang lain. Barangkali ukuran mereka seperti Goliath. Sehingga sangat wajar jika orang-orang yang secara fisik memiliki kekuatan lebih memanfaatkan kelebihannya tersebut dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka mendominasi orang lain secara fisik. (ay. 11) Dalam tatanan dunia saat itu tentu saja belum ada hukum bagi masyarakat seperti hukum saat ini. Hukum rimba barangkali menjadi hukum yang paling umum pada saat itu, siapa kuat dia yang berkuasa. Sehingga mereka disebut orang-orang gagah perkasa dan kenamaan.
Dari serangkaian perilaku-perilaku tersebut, rakus-seksual dan kekerasan, maka munculah ayat 5
5 Ketika dilihat TUHAN, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata,
Perhatikan baik-baik bahwa sejak ayat 5 ini maka sebutan “anak-anak Allah” sudah tidak ada lagi. Kemana masyarakat “anak-anak Allah” ini? Agaknya mereka telah menjadi sama dalam hal perilaku dan membaur dengan masyarakat “manusia” sehingga tidak ada lagi beda antara masyarakat “anak-anak Allah” dengan masyarakat “manusia”. Oleh sebab itu ayat 5 hanya menyebut “manusia” bagi mereka semua, baik masyarakat “manusia” maupun masyarakat yang dulunya adalah “anak-anak Allah”.
6 maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya.
7 Berfirmanlah TUHAN: "Aku akan menghapuskan manusia yang telah Kuciptakan itu dari muka bumi, baik manusia maupun hewan dan binatang-binatang melata dan burung-burung di udara, sebab Aku menyesal, bahwa Aku telah menjadikan mereka."
8 Tetapi Nuh mendapat kasih karunia di mata TUHAN.
9 Inilah riwayat Nuh: Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu hidup bergaul dengan Allah. 10 Nuh memperanakkan tiga orang laki-laki: Sem, Ham dan Yafet. 11 Adapun bumi itu telah rusak di hadapan Allah dan penuh dengan kekerasan. 12 Allah menilik bumi itu dan sungguhlah rusak benar, sebab semua manusia menjalankan hidup yang rusak di bumi. 13 Berfirmanlah Allah kepada Nuh: "Aku telah memutuskan untuk mengakhiri hidup segala makhluk, sebab bumi telah penuh dengan kekerasan oleh mereka, jadi Aku akan memusnahkan mereka bersama-sama dengan bumi
Ternyata di ayat 6 ada dua respon TUHAN yang ditulis: 1) TUHAN menyesal 2) TUHAN pilu hati-Nya.
Dari dua respon TUHAN tersebut kita melihat sisi lain dari sifat TUHAN Allah kita. Kalau kemarin dalam pasal 1 Kitab Kejadian kita meliha sisi kemahakuasaan Allah, sekarang kita melihat sisi emosi / perasaan TUHAN Allah kita.
Lha, kok TUHAN bisa emosi, menyesal, dan pilu? Kok mirip manusia banget ya? Apa TUHAN jangan-jangan manusia juga?
Tentu saja TUHAN bisa memiliki perasaan-perasaan seperti kita. Bukankah kita ini gambar-Nya.
Tetapi bukan berarti Si Gambaran ( yaitu manusia) dan Sang Gambar Asli ( yaitu TUHAN ) menjadi sama persis. Contohnya dalam hal kuasa; TUHAN memiliki kuasa untuk mencipta, kita juga punya kuasa untuk mencipta (inventing, creating, dll) namun tetap saja kuasa penciptaan kita tidak sama persis dengan kuasa penciptaan-Nya tetapi hanya gambaran dari kuasa-Nya saja.
Demikian juga dalam hal emosi. Emosi kita hanya gambaran dari emosi TUHAN. Bedanya emosi TUHAN tidak digerakan oleh kedagingan tetapi oleh KASIH karena natur TUHAN adalah KASIH, sedangkan natur manusia adalah daging. Kasih Allah nampak dari sini adalah bagaimana TUHAN berusaha membebaskan bumi dari dosa dengan membinasakan yang jahat namun memberi karunia kepada yang berperilaku benar, yaitu Nuh dan keluarganya.
Dalam hal ini kita belajar dari sisi perasaan TUHAN yaitu respon positif terhadap dosa adalah harus timbul perasan penyesalan.
Penyesalan dari sisi manusia akan membawa kepada pertobatan, sedangkan dari sisi TUHAN akan membawa kepada penghukuman kepada barang siapa – termasuk kita anak-anak Allah sekalipun – yang berperilaku kedagingan.
Jangan sampai kita membuat TUHAN menyesal telah menciptakan kita karena dosa-dosa kita. Jadi sebelum TUHAN menyesal terhadap kita, alangkah baiknya jika kita lebih dahulu menyesal terhadap dosa-dosa kita dan menghasilkan buah-buah yang sesuai dengan pertobatan.