Abram dan Sarai menikah di Ur-Kasdim. Usia nikah seorang laki-laki pada masa itu ±30 tahun. Jadi jika umur Abram saat berada di Haran 75 tahun maka usia pernikahan Abram-Sarai ±45 tahun, cukup lama ya..
Sarai ini sudah disebut mandul sejak mereka di Ur-Kasdim namun tidak ada usaha Abram untuk menceraikan Sarai atau mengambil isteri lagi meskipun ‘sepertinya’ Abram punya hak untuk melakukannya. Karena pada masa itu memiliki isteri lebih dari satu adalah hal yang biasa, dengan atau tanpa sebab apa pun. Apalagi jika ada sebab-sebab tertentu yang menjadikan laki-laki punya alasan untuk berpoligami, misalnya salah satu alasan laki-laki diperbolehkan oleh masyarakat untuk berpoligami adalah jika si isteri mandul seperti Sarai.
Namun Abram terus menjadikan Sarai satu-satunya istri sekalipun Abram tahu garis keturunannya bakalan terhenti jika ia tetap mempertahankan Sarai sebagai satu-satunya isteri. Barangkali inilah salah satu teladan bagi kita untuk mengasihi pasangan hidup kita apapun kekurangannya. Demikian juga Sarai taat dalam kasih kepada Abram sedemikian hingga ia menyebut Abram sebagai tuan-nya.
Abram ini juga mau mengambil alih tanggungjawab kakaknya yang telah meninggal untuk memelihara keponakannya, Lot. Abram mengasihi Lot sungguh-sungguh. Hal ini terbukti ketika Lot ditawan 5 raja dari timur (Kej.14), Abram dengan segera berperang bagi keselamatan Lot.
Keponakannya saja dikasihi dengan mengorbankan nyawa apalagi terhadap isteri, pasti cintanya jaauuu...hhh lebih besar.
Jujur, saya sering merasa diri sebagai laki-laki yang paling setia, paling baik, paling mengasihi isteri tetapi setelah membaca kisah Kejadian 12 saya jadi sadar diri..
*malu mode: ON* hehehe...
Sekarang keluarga yang saling mencintai ini menghadapi persoalan rumit. Mereka ada pada masa kelaparan yang melanda seluruh Kanaan dan sekitarnya. Penyebab pasti masa kelaparan ini tidak ditulis. Penyebab umum kelaparan biasanya karena hama atau kemarau yang terlampau panjang. Mengingat luasnya wilayah yang dilanda kelaparan bisa jadi penyebabnya adalah kemarau yang sangat panjang.
Diceritakan bahwa posisi mereka saat itu ada disebelah selatan gurun Negeb, artinya mereka berada ±200km dari Sungai Yordan disebelah Utara dan ±150 km dari Sungai Nil di sebelah Barat. Sedangkan disebelah Selatan adalah gunung Sinai dan sebelah Timur adalah Midian, dan gurun Arab, adalah daerah-daerah yang tidak memiliki sungai besar.
Tetapi Sungai Yordan ada di Kanaan, yaitu daerah yang sedang dilanda kelaparan, artinya Sungai Yordan juga dilanda kekeringan. Sekarang satu-satunya harapan untuk bertahan hidup hanya-lah Sungai Nil.
Seperti diketahui, Sungai Nil merupakan daerah kekuasaan Firaun, negara adidaya pada masa itu. Raja yang kuat ini agaknya juga terkenal suka menghalakan segala cara untuk memuaskan hasratnya terhadap perempuan-perempuan cantik. Persoalan muncul karena Sarai, isteri Abram, adalah perempuan yang sangat cantik meskipun sudah berumur 65 tahun.
Ada persoalan lain lagi bagi kita pembaca Alkitab di masa ini karena tertulis umur Sarai 65 tahun dan disebut masih sangat cantik. Bagi kita umur 65 tahun bukannya sudah nenek-nenek? Masak umur segitu masih begitu cantik sampai-sampai raja sekaliber Firaun ngiler?
Sekali lagi ternyata kita harus membaca data Alkitab lebih hati-hati supaya kita bisa memahami dunia masa itu seperti yang dipaparkan penulisnya.
Satu hal yang kita ketahui dari Alkitab bahwa harapan hidup manusia saat itu masih panjang. Misalnya Nahor kakek Abram mencapai umur 148 tahun. Terah, ayah Abram umurnya mencapai 205 tahun, Abraham sendiri mencapai umur 175 tahun, Ishak bin Abraham mencapai umur 180 tahun, Ismael kakak tiri Ishak mencapai umur 137 tahun. Jadi dari kelima orang tersebut kita dapatkan rata-rata harapan hidup manusia Israel di jaman Abram adalah 170 tahun. Bandingkan dengan rata-rata harapan hidup orang Israel sekarang menurut Wikipedia yang (hanya) 80,96 tahun.
Jadi kondisi fisik Abram yang berumur 75 tahun masa itu jika dikonversi dengan umur manusia jaman sekarang kurang lebih menjadi 75/170 x 80,96 = 35,71765 tahun, kita bulatkan menjadi 36 tahun, sedangkan Sarai 65/170 x 80,96 = 30,95529 tahun, kita bulatkan menjadi 31 tahun. Belum tua-tua amat kan? Pantesan masih disebut cantik..
Perhitungan di atas bukan rumusan baku dari para scientist. Tetapi lebih hanya sebagai cara saya untuk mengatakan bahwa kita tidak bisa begitu saja membawa masa lalu ke dalam masa kini. Ada banyak jurang pemisah antara zaman kita dengan zaman Abram, hanya saja untuk merumuskan sebuah jembatan penghubung yang sempurna antara dua zaman ini saya tidak mampu, oleh karena itu saya memakai cara awam yang sangat sederhana untuk menolong saya memahami adanya perbedaan bahwa seseorang yang berumur 65 tahun di masa itu tidak bisa begitu saja dianggap sama dengan seseorang yang berumur 65 tahun di masa sekarang.
Ok, persoalan Sarai yang berumur 31, eh, 65 ding, tapi cantik saya anggap clear. Masih ada persoalan lagi bagi kita, atau pertanyaan besar mengapa Abram sampai hati menjadikan Sarai tumbal untuk cari selamat diri sendiri? Lagian ngapain juga Sarai nurut saja disuruh-suruh oleh Abram?
Ketika saya mencoba mengambil posisi Abram saat itu, saya merasa sulit sekali untuk mengambil sebuah keputusan. Dari berbagai sisi Abram sangat terjepit. Jika Abram mengambil keputusan untuk balik ke Kanaan maka yang akan ia temui adalah tidak adanya makanan dan air bagi ia dan seluruh orang-orang yang ada di dalam rombongannya. Tanpa air manusia hanya dapat bertahan hidup 2-5 hari saja. Sekalipun seandainya Abram masih memiliki persediaan air, maka dalam waktu 1-2 minggu apakah masih sisa? Sangat mungkin tidak sampai 1-2 minggu saja ia dan seluruh keluarganya akan tumpas di tanah Kanaan.
Sekarang pilihan untuk tetap bertahan hidup bagi ia dan keluarganya hanya dengan berjalan ke Barat yaitu ke Sungai Nil.
Di Mesir, Abram harus menentukan, sekali lagi, sebuah pilihan yang lebih sulit berkenaan dengan ancaman yang datang dari perilaku Firaun saat melihat perempuan cantik.
Sebagai seorang suami yang mencintai isterinya tentu saja ia tidak akan menyerahkan isterinya yang dicintainya kepada laki-laki lain untuk dijadikan pemuas nafsu. Kalau ia tetap mempertahankan Sarai maka akibatnya ia mati dibunuh Firaun dan Sarai tetap saja menjadi alat pemuas nafsu Firaun. Kalau ia mati maka tidak ada lagi harapan bagi Sarai yang dicintainya untuk keluar dari Mesir.
Tetapi jika ia hidup, walaupun harus dengan menyerahkan Sarai ke tangan Firaun, maka selalu akan ada pengharapan bagi Sarai untuk keluar dari cengkeraman Firaun.
Maka Abram dengan hati perih memutuskan untuk tetap hidup agar suatu saat nanti ia bisa membawa istrinya keluar dari tanah Mesir apapun keadaanya. Bukankah sudah ia buktikan bahwa ia mencintai isterinya dengan segala kekurangannya selama 45 tahun sejak dari Ur-Kasdim?
Sarai, sang isteri paham betul cinta suaminya yang kuat terhadap dirinya. Bagaimanapun ia telah lebih dari 45 tahun hidup bersama laki-laki tulus ini. Oleh karena itu ketika Abram memintanya untuk ‘pasrah’ diambil Firaun, Sarai mentaati permintaan suaminya ini.
Susah sekali bagi saya untuk tidak menitikkan air mata ketika mengetahui pengorbanan sang suami dan sang isteri yang sama-sama berat ini. Dalam masalah yang berat ini mereka masing-masing memberi diri untuk menanggung beban persoalan secara bersama-sama.
Namun terpujilah TUHAN, Allah Yang Hidup, Allah Abram yang tidak pernah tinggal diam! IA menghardik Firaun dengan kerasnya sehingga Firaun ketakutan dan menyerahkan Sarai kembali kepada Abram saat itu juga.
Memang benar bahwa di dalam TUHAN segala persolan pasti memiliki Happy Ending! Karena bagi DIA, Abram – bapa orang percaya itu - dan kita anak-anak Abram di dalam iman, adalah biji mata-Nya, artinya jika mata kena debu yang paling kecil sekalipun akan membuat DIA yang memiliki mata akan merasa perih kesakitan. Nah, kalau Yang Maha Kuat sudah kesakitan, IA akan membela biji mata-Nya, siapakah yang akan tahan menerima hardikan-Nya?
Hari ini saya belajar tentang arti cinta, ketulusan dan pengorbanan dari Abram, Sarai dan tentu saja, dari TUHAN.